Selasa, 02 September 2008

BANGGAKAH KITA DISEBUT MAHASISWA?

Oleh : Yuniar K

Mahasiswa, menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti siswa atau siswi yang belajar di perguruan tinggi. Belajar di sini memiliki beragam arti, dapat diartikan kuliah, berorganisasi, berinteraksi, dan sebagainya. Mahasiswa adalah pemuda yang dapat merubah dunia dengan segala semangat dan tekadnya begitulah kiranya Ir. Soekarno berkata. Maha berarti tinggi dan siswa berarti orang terpelajar, sehingga tidak salah kalau masyarakat berharap banyak akan kontribusinya kepada negara dan warganya.

Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana spirit and power mahasiswa era 98 menggulingkan pemerintah diktator “orde baru” yang selama 32 tahun berkuasa berhasil dihancurkan oleh spirit and power dari mahasiswa tersebut. Sehingga demokrasi yang kita enyam saat ini tidak lepas dari jasa – jasa para mahasiswa. Namun sekarang ini, mahasiswa yang katanya merupakan kaum intelektual yang mempunyai pemikiran kritis, analisa tajam, serta dieluka-elukan untuk meneruskan perjuangan itu, seakan-akan kehilangan rohnya.

Hilangnnya semangat dan tekad perjuangan menyebabkan lumpuhnya pergerakan mahasiswa sekarang ini. Idealisme-idealisme mahasiswa yang dulu pernah menjadi icon pergerakan kini menjadi isapan jempol belaka yang nihil implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seakan – akan ideologi pergerakan mahasiswa saat ini hanya menjadi bumbu pemanis saja bagi jalannya pergerakan mahasiswa dikampus. Kampus yang dianggap sebagai pusat peradaban kaum intelektual pun yang penuh dengan suasana keilmiahan mahasiswa seakan mulai memudar dari kehidupan mahasiswa saat ini. Dan hanya beberapa saja yang bertahan.

Kampus yang saya amati sekarang ini adalah kampus yang cenderung berbudaya hedonisme.Budaya yang jauh dari ilmiah dan kesederhanaan. Budaya yang jauh dari konsekwensi – konsekwensi ideologis yang dipegang . Walaupun tidak semuanya begitu. Kita bisa melihat kampus sekarang ini tidak ubahnya seperti ajang fashion show bagi mahasiswanya. Mereka berlomba-lomba untuk memamerkan busana yang paling up to date, yang paling ngetrend, dandanan yang funky, atau dandanan yang mereka sebut gaul. Lebih parah lagi di diskotik – diskotik yang berada di kota- kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta bahkan Semarang pun para pengunjung yang memadatinya adalah mahasiswa. Sehingga tak jarang mahasiswa dijadikan objek oleh pengusaha diskotik dengan program ladies night, adholic atau program sejenisnya. Selain itu Mahasiswa yang disebut sebagai directur of change sekarang telah mengalami krisismoralitas. Hal yang paling sederhana misalnya kebiasaan titip absen dalam perkuliahan. Kelihatannya hal ini sepele, namun dampaknya luar biasa. Berawal dari kebiasaan ini nantinya akan berubah menjadi suatu kebutuhan. Kebiasaan negative seperti itu, akan terbawa hingga ketika mahasiswa menjadi “orang”. Bukan titip absent lagi tentunya, tetapi titip saudara atau temannya untuk bisa diterima oleh suatu instansi. Dengan demikian berarti mahasiswa telah terjerembab dalam kubangan KKN.

Selain itu, Mahasiswa sekarang adalah mahasiswa yang lebih tertarik untuk mendiskusikan tentang hal-hal remeh seperti gosip terhangat, artis favorit, film terbaru dibandingkan berdiskusi mengenai mata kuliah, isu-isu politik, permasalahan bangsa dan hal lain yang sifatnya ilmiah dan menuju arah kemajuan bangsa. Sedikit mahasiswa yang berminat untuk mengikuti LKTM (Lomba Karya Tulis Ilmiah) atau Diskusi kebangsaan dan seminar. Mereka lebih suka menonton konser musik daripada mengikuti seminar. Bahkan mereka rela meninggalkan kuliah demi untuk nonton grup band kesayangannya manggung. Jika demikian, masih banggakah kita disebut mahasiswa?

Sudah saatnya kita kembali menjadi mahasiswa sebenarnya. Mahasiswa yang memiliki spirit and power untuk menuju bangsa yang lebih bermartabat. Mahasiswa yang tidak mudah untuk terprovokasi oleh bualan busuk adu domba. Saatnya mahasiswa kembali pada hakikatnya.

Kembali Ke Makna Ramadhan

Oleh : Yuniar Kustanto

Datangnya bulan suci Ramadhan sangat dinanti kaum muslimin di seluruh belahan bumi dunia. Di negara – negara arab bulan Ramadhan di sambut dengan gemerlapnya lampu – lampu serta lampion – lampion yang mewarnai setiap jalan dan rumah – rumah. Sedangkan di negara – negara benua eropa (examp : Austria dan Swedia) menjelang bulan suci muslim diramaikan dengan kampanye pengumpulan sedekah dan paket lebaran untuk keluarga miskin dan anak – anak yatim piatu. Indonesia tidak mau kalah, pesta penyambutan bulan suci itu pun berlangsung meriah disetiap daerah. mulai dari budaya padusan, Targhib atau pawai Ramadhan, hingga acara semeriah pesta pun dilakukan. itu semua dilakukan demi menyambut bulan suci.

Pada umumnya kaum muslimin terutama masyarkat Indonesia senantiasa menyambut Ramadhan dengan symbol – symbol keagamaan artyfisial. Walaupun symbol – symbol seperti itu perlu mengingat eksistensi Islam dan hikmah Ramadhan yang perlu disampaikan. Namun, disisi lain symbol – symbol artificial seperti itu tidak dibarengi dengan aktifitas – aktifitas ruhani dan pendekatan diri terhadap sang Pencipta. Bahkan, ada juga masyarakat yang belum tersadarkan untuk mencoba menyingkap ruh dan efek yang seharusnya timbul dari proses ibadah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pada waktu malam pertama Ramadhan masih saja ada pasangan muda – mudi yang belum menikah ( pacaran ) berkeliaran berbonceng ria tanpa menghiraukan adanya ibadah sholat Isya dan tarawih di masjid - masjid . Selain itu, di pinggir – pinggir jalan ada juga yang nongkrong baik di kucingan ataupun di trotoar – trotoar masih terhitung cukup banyak.
Hal ini yang menjadi perhatian penulis bahwa masih kurangnya kesadaran mahasiswa akan makna bulan Ramadhan itu sendiri. Jikalau kita mau menilik tarikh ataupun sirah nabi dan sahabat, disana disampaikan bahwa ketika menjelang bulan Ramadhan berbagai persiapan pun dilakukan jauh – jauh hari oleh Rasulullah dan para Sahabat. Mulai dari puasa bulan Sya’ban, memperbanyak infaq, hingga melakukan amalan salih lainnya. Bahkan, Rasulullah saw sendiri ketika menjelang Ramadhan mengumpulkan para sahabatnya untuk mengingatkan dan menyampaikan kepada mereka tentang hikmah dan keutamaan Ramadhan agar para sahabat memiliki kesemangatan dalam beribadah di bulan Ramadhan. Sehingga tidak disangsikan lagi bahwa pada generasi ini Islam memiliki kejayaan pada level tertinggi.
Fenomena – fenomena yang disampaikan penulis di atas tadi cukup menjadi ironi dan kontradiksi dengan apa yang di lakukan pada zaman Rasul dan sahabat. Penulis merasakan semakin maju peradaban manusia semakin hilang makna Ramadhan pada kehidupan. Seakan – akan Ramadhan bagi sebagian mahasiswa Unnes hanya sebagai bulan biasa saja, tanpa adanya efek positif apa – apa. Tampaknya sudah saatnya kita kembali memaknai Ramadhan dengan apa yang di maknai oleh para sahabat dan salafus salih. Kajian – kajian Ramadhan di masjid - masjid, kantor - kantor sudah saatnya dipenuhi oleh masyarakat muslim dari berbagai penjuru tanpa mempedulikan ras dan golongan. Sikap – sikap saling mengingatkan akan kebaikan perlu ditumbuhkan kembali di kalangan masyarakat, budaya – budaya masyarakat yang terkesan hedonistik dan mubadzir perlu diganti dengan budaya – budaya yang bermanfaat bagi umat sehingga Ramadhan tahun ini dapat menjadi titik tolak perubahan manusia untuk membentuk generasi unggul yang mampu mencetak peradaban manusia menuju tingkat yang lebih tinggi. Jangan sampai kita melewati Ramdhan tahun ini tanpa memperoleh apa – apa seperti yang di sabdakan Rasulullah saw ; “ Barangsiapa tidak memperoleh kebaikan Ramadhan, maka dia tidak memperoleh bagian apa – apa “.